Logo

Mengenal TRIPITAKA

Tripitaka dalam bahasa Sansekerta Tipitaka dalam bahasa Pali berarti tiga kelompok atau tiga keranjang. Pengelompokan kitab suci agama Buddha didasarkan pada jenis dan isi dari masing-masing kitab tersebut yakni Vinaya Pitaka berisi peraturan dan tata tertib, Sutra Pitaka berisi uraian kotbah dan Tanya jawab antara Buddha dengan para siswa-Nya, serta Abhidharma Pitaka berisi uraian rinci tentang psikologi Buddhis, analisa metafisika agama Buddha secara rinci dan mendalam.

A.Sejarah Kitab Suci Tripitaka
Pada masa Buddha Gotama masih hidup, para siswa Sang Buddha (para Bhikkhu) semuanya masih taat pada Vinaya atau peraturan tata tertib kebhikkhuan. Pada dasarnya semua bhikkhu, baik muda maupun bhikkhu tua patuh dan tunduk pada Vinaya.

Setelah Buddha Parinibbana, Tahun 483 SM, yang diawali dari ungkapan seorang bhikkhu yang bernama Subhaddha, merasa senang dan bahagia karena Sang Buddha telah wafat, Bhikkhu Subhaddha berkata: “Wahai kawan-kawan, janganlah menangis atau meratap, sebab kita sekarang telah terbebas dari pertapa agung, yang tidak akan memberitahukan lagi kepada kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat kita menderita, tetapi kita sekarang dapat berbuat apapun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi” (Vinaya Pitaka ii,33).

YA. Mahakassapa thera yang juga mendengar kata-kata Bhikkhu Subhaddha, tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh Bhikkhu Subhaddha, dengan berkata: “Mari avuso, kita akan membabarkan Dharma dan Vinaya, sebelum apa yang bukan Dharma mendapat angin dan berkembang, dan sebelum apa yang bukan Vinaya mendapat angin dan berkembang, Vinaya akan terdesak, sebelum mereka yang berbicara tentang apa yang bukan Dharma menjadi kuat dan mereka yang berbicara tentang Dharma menjadi lemah, sebelum mereka bicara tentang bukan Vinaya menjadi kuat dan mereka yang bicara tentang Vinaya menjadi lemah.”

Kemudian dijawab oleh bhikkhu yang lain “Kalau demikian, harap bhante yang memilih bhikkhu-bhikkhu yang akan mengucap ulang semua Dharma dan Vinaya.”

Kemudian Bhikkhu Mahakassapa thera memilih 499 bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat kesucian Arahat, akan tetapi salah seorang bhikkhu mengusulkan kepada Bhikkhu Maha Kassapa Thera agar Bhikkhu Ananda untuk diikutsertakan dalam pembacaan Dharma dan Vinaya, usul itupun diterima oleh Bhikkhu Maha Kassapa Thera. Sementara Bhikkhu Ananda yang diusulkan untuk membacakan Dharma dan Vinaya merenung: “Besok kita akan berkumpul, sebenarnya sebagai seorang siswa (belum mencapai tingkat kesucian Arahat) aku tidak layak menghadiri pertemuan itu.”

Setelah merenung kemudian Ananda giat melatih meditasi dengan obyek badan jasmani sampai larut malam. Karena merasa amat lelah, bhikkhu Ananda ingin membaringkan dirinya diatas tempat tidurnya. Lalu tempat tidur dan kakinya sudah terangkat dari tanah, pada saat itu dengan tiba-tiba batinnya bersih dari kekotoran batin, pada saat itu juga Bhikkhu Ananda mencapai kesucian batin, ia menjadi Arahat.

Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, ke-500 orang bhikkhu yang kesemuanya telah mencapai tingkat kesucian Arahat berkumpul di Goa Satapani, dekat Rajagaha, untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama 45 tahun, dan menyusunnya secara sistematis. Bhikkhu Ananda, sebagai siswa terdekat Sang Buddha yang bertugas untuk mengucapkan kembali semua Dharma (Sutra) yang telah didengarnya, sedangkan bhikkhu Upali memdapat kepercayaan untuk mengulang kembali tentang Vinaya (peraturan-peraturan). Peristiwa ini dikenal dengan pesamuan Agung I dan hasilnya adalah kitab suci Tripitaka dalam bentuk yang dihafal.

Satu abad kemudian (345 SM) yaitu seratus tahun setelah Buddha wafat, terdapat sekelompok bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya. Menghadapi usaha seperti ini, para bhikkhu ingin mempertahankan Dharma dan Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama, maka perlu kiranya untuk menyelenggarakan Pesamuan Agung, dengan bantuan Raja Kosala di Vesali, pada pesamuan itu kitab Tripitaka diucapkan kembali oleh 700 orang bhikkhu yang kesemuanya telah mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pesamuan Agung III diadakan di Pattaliputta (Patna), pada 300 tahun setelah wafatnya Buddha (th 349 SM), pada waktu pemerintahan Kaisar Asoka Wardhana. Karena kaisar Asoka pemeluk agama Buddha, maka dengan kekuasaannya dan pengaruhnya banyak membantu penyebaran Dharma ke seluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu ribuan bhikkhu gadungan masuk kedalam komunitas Sangha dengan maksud menyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk menyesatkan umat. Karena kejadian inilah maka Kaisar Asoka menyarankan untuk diadakan pesamuan agung ke-3 guna membersihkan tubuh Sangha dari bhikkhu gadungan. Dalam pesamuan agung III ini dibacakan kembali kitab suci Tripitaka oleh 1000 orang bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Bertitik tolak pada Pesamuan Agung III inilah agama Buddha tersebar ke seluruh penjuru dunia dan Raja Asoka mengirimkan delapan rombongan Dharmaduta ke berbagai kerajaan. Diantara para Dharmaduta tersebut yakni Bhikkhu Mahinda dan disertai adiknya Bhikkhuni Sanghamitta, anak raja Asoka memimpin rombongan yang dikirim ke Srilanka.

Pesamuan Agung IV diadakan di Aluvihara (Srilanka) dibawah lindungan Raja Vatta Gamanabhaya pada permulaan abad VI setelah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada Pesamuan Agung IV, isi kitab suci Tipitaka dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini agar semua orang mengetahui kemurnian Dharma Vinaya.

Pesamuan Agung V diadakan di Mandalay (Birma), pada abad ke 20 sesudah Sang Buddha wafat (tahun 1871 M) dengan bantuan Raja Mindon. Hasil penting pada pesamuan ini yaitu kitab Suci Tripitaka yang diprasastikan (dipahatkan) pada 729 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Pesamuan Agung VI diadakan di Rangoon pada hari Vesakha puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 atau tahun 1956 Masehi.

Designed by Tech Comp 2016.