Log in
idzh-CNen

Kisah Raja Pukkusati

Kisah Raja Pukkusati

 

Ketika Raja Bimbisara memerintah Kota Rajagaha di Negeri Magadha di Wilayah Tengah (Majjhima-Desa), pengusaha Kota Takkasila di perbatasan Wilayah Tengah adalah Raja Pukkusati.

kisah raja pukkusati

 

Suatu hari para pedagang Takkasila datang ke Rajagaha membawa barang-barang untuk dijual. Mereka membawa hadiah dan menghadap Raja Bimbisara. Mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dan berdiri memberi hormat kepada raja. Raja bertanya

di mana mereka tinggal dan mereka menjawab bahwa mereka menetap di Takkasila.

Setelah bertanya-tanya lebih jauh mengenai situasi politik, kesejahteraan, dan mengenai kota mereka, raja menanyakan nama raja mereka. Ketika para pedagang itu menjawab bahwa raja mereka bernama Pukkusati, ia bertanya apakah raja mereka itu melaksanakan sepuluh kewajiban raja. Mereka menjawab, “Tuanku, raja kami memenuhi sepuluh kewajiban. Ia memajukan kesejahteraan rakyat melalui hal-hal pendukung (sangaha-Dhamma) seperti sassa-medha, purisa-medha, sammapasa, dan vacapeyya. Ia bersikap seperti ayah bagi rakyat dan membahagiakan rakyatnya bagaikan orangtua yang menimang anaknya di pangkuannya.”

 

(1)Sassa-medha:kebijaksanaan sehubungan dengan hasil panen. Mengumpulkan pajak tanah hanya sebesar sepersepuluh dari hasil panen.

(2)Purisa-medha: kebijaksanaan sehubungan dengan para petugas dan pasukan. Hadiah diberikan setiap setengah tahun.

(3)Sammapasa: mengambil hati rakyat miskin. Memberikan pinjaman uang, seribu atau dua ribu tanpa dikenakan bunga selama tiga tahun.

(4)Vacapeyya: kata-kata yang penuh kasih sayang. Menggunakan kata-kata seperti ‘anak muda’, ‘paman’, dan sebagainya dalam berbicara dengan orang-orang sesuai umur mereka.

Raja Bimbisara masih menanyakan pertanyaan lain lagi, “Berapa umur raja kalian?” Para pedagang itu menjawab dan ternyata kedua raja itu kebetulan berumur sama.

 

Kemudian raja berkata kepada para pedagang itu, “Teman-teman, raja kalian adalah orang yang baik, ia sebaya denganku. Dapatkah kalian mengusahakan agar raja kalian menjadi temanku?” Ketika mereka memberikan jawaban positif, Raja Bimbisara membebaskan para pedagang itu dari kewajiban pajak, menyediakan tempat tinggal serta makanan bagi mereka dan mengakhiri percakapan dengan meminta mereka untuk menghadapnya kembali sebelum mereka meninggalkan kota itu.

 

Sesuai instruksi raja, para pedagang itu menghadap Raja Bimbisara pada malam sebelum keberangkatan mereka. Raja berkata, “Teman-teman, semoga perjalanan pulang kalian menyenangkan. Tanyakan kepada raja kalian mewakiliku mengenai kesehatannya dan katakana kepadanya bahwa aku ingin bersahabat dengannya.”

 

“Baiklah,” jawab para pedagang itu dan mereka pulang ke Takkasila.

Sesampainya di Takkasila, mereka menyimpan barang-barang mereka, dan pergi menjumpai raja mereka setelah makan pagi. Raja bertanya, “ Ke mana saja kalian?, aku tidak melihat kalian beberapa hari ini.” Para pedagang itu melaporkan semuanya kepada raja mereka. Kemudian raja dengan gembira berkata, “Baik sekali! Karena kalian aku memiliki seorang sahabat dan sekutu di Wilayah Tengah.”

 

Beberapa waktu kemudian, para pedagang Rajagaha pergi ke Takkasila untuk berdagang. Mereka menghadap Raja Pukkusati dengan membawa hadiah. Ketika raja mengetahui bahwa mereka datang dari Rajagaha, kota kerajaan temannya, ia berkata, “Kalian adalah tamu dari Rajagaha, kota kerajaan teman dan sekutuku, Raja Bimbisara,” para pedagang itu membenarkan.

 

Selanjutnya raja menanyakan tentang kesehatan temannya dan membuat pengumuman diiringi tabuhan genderang, “Sejak hari ini, semua pedagang yang datang dari kerajaan temanku Raja Bimbisara, baik yang berjalan kaki maupun yang mengendarai kereta akan disediakan tempat tinggal dan makanan dari lumbung istana. Mereka akan dibebaskan dari pajak. Tidak ada yang boleh mengganggu mereka.” Raja Bimbisara juga melakukan hal yang sama di kotanya.

 

Dua Raja Itu Saling Bertukar Pesan

Kemudian Raja Bimbisara mengirim pesan kepada Raja Pukkusati yang berisi,

 

“Teman, batu mulia seperti batu delima, mutiara, dan lain-lain, biasanya dihasilkan oleh negeri-negeri perbatasan. Jika engkau menemukan batu-batu mulia berharga yang menarik, mohon beritahukan kepadaku.”

 

Raja Pukkusati sebaliknya mengirim pesan belasan yang berisi,“Teman, Wilayah Tengah adalah wilayah yang kaya. Jika muncul batu mulia berharga dari jenis yang lain, mohon beritahukan kepadaku.”

 

Selama berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun, kedua raja itu menjalin persahabatan tanpa pernah bertemu muka.

 

Hadiah Raja Pukkusati

Dalam masa kedua raja itu sepakat untuk saling berbagi berita mengenai harta terpendam mereka, suatu benda yang layak untuk dijadikan hadiah pertama kali muncul dari pihak Raja Pukkusati. Raja itu mendapatkan delapan helai kain lima warna yang tidak ternilai. “Kain-kain itu berkualitas tinggi,” pikir raja itu, “Aku akan mengirimkannya sebagai hadiah kepada temanku Raja Bimbisara.” Kemudian ia membuat delapan peti dari kayu cendana yang dihaluskan. Dalam masing-masing peti ia memasukkan sehelai kain dan dengan menggunakan getah pohon karet, ia membentuk peti-peti itu menjadi berbentuk bola. Masing-masing bola dibungkus dengan kain putih dan dimasukkan ke dalam kotak yang dibungkus lagi dengan kain lainnya dan disegel. “Serahkan ini kepada temanku Raja Bimbisara,” raja menyuruh para menterinya untuk mengirimkan kotak-kotak itu kepada temannya. Ia juga melampirkan sepucuk surat yang mengatakan, “Aku ingin agar temanku membuka kotak ini dan melihat hadiah ini bersama para menteri dan pejabat di tengah-tengah kota.”

 

Para menteri itu pergi ke Rajagaha dan menyampaikan hadiah itu. Membaca pesan itu, Raja Bimbisara memerintahkan agar semua menteri dan pejabatnya berkumpul. Di tengah-tengah kota, raja duduk di atas singgasana permata di bawah payung putih kerajaan. Kemudian ia membuka kain penutup dan membuka kotak itu. Ketika ia membuka paket itu dan melihat bola getah karet itu, ia berpikir, “Oh, temanku Raja Pukkusati mengirim dadu karet ini sebagai hadiah, ia pasti telah keliru menganggapku sebagai seorang penjudi, seorang pemain dadu.” Dengan pikiran demikian, ia mengambil bola itu, menggelindingkannya di telapak tangannya, menebak beratnya dan mengetahui bahwa bola itu berisi gumpalan kain tipis.

 

Ketika raja melemparkan bola itu ke kaki singgasana, karet itu terlepas (dari lapisan-lapisannya). Ia membuka peti harum itu dengan kuku jari tangannya dan melihat kain berharga itu, ia segera memerintahkan agar tujuh peti lainnya dibuka juga. Mereka melihat dengan mata mereka sendiri bahwa semuanya berisikan kain yang tidak ternilai itu. Ketika kain itu dibentangkan dan diukur, mereka melihat warna-warni dan sentuhan yang indah, masing-masing berukuran panjang enam belas lengan dan lebar delapan lengan. Menyaksikan harta yang tidak ternilai itu, orang-orang bertepuk tangan dan melemparkan penutup kepala mereka. Mereka bergembira dan berkata, “Raja kita dan temannya Raja Pukkusati belum pernah bertemu, namun raja itu mengirimkan hadiah yang tidak ternilai. Sangatlah tepat berteman dengan raja seperti itu.”

 

Raja Bimbisara menaksir nilai dari tiap-tiap helai kain itu dan mengetahui bahwa semuanya berniali sangat tinggi. Ia mempersembahkan empat helai kepada Buddha dan menyimpan empat sisanya di dalam istananya.

 

Hadiah Balasan dari Raja Bimbisara

raja bimbisara

Kemudian Raja Bimbisara berpikir, “Sebuah hadiah balasan harus melebihi hadiah yang diterima. Temanku Raja Pukkusati telah mengirimkan hadiah yang tidak ternilai kepadaku. Hadiah apakah yang harus kukirimkan kepadanya sebagai balasan?”

 

Akan muncul pertanyaan di sini, “Apakah tidak ada harta yang lebih baik daripada delapan helai kain itu di Rajagaha?” (Jawabannya adalah:) Sebenarnya bukan tidak ada. Raja bimbisara adalah seorang raja besar. Oleh karena itu, tidak mungkin tidak ada yang lebih baik dari delapan helai kain itu. Apalagi sejak saat ia mencapai Sotapanna, semua permata duniawi tidak lagi menyenangkan hati raja. Hanya Tiga Permata dalam bentuk Buddha, Dhamma, dan Samgha yang menyenangkan. Oleh karena itu, dalam memilih benda berharga sebagai hadiah balasan, raja mempertimbangkan sebagai berikut:

 

“Di dunia ini, permata (ratana) ada dua jenis, yang hidup (savinnanaka) dan yang mati (avinnanaka). Dari kedua jenis ini, benda mati seperti emas, perak atau benda-benda berharga lainnya hanya berfungsi sebagai hiasan bagi yang hidup. Oleh karena itu, permata hidup adalah lebih berharga.”

 

“Permata hidup juga ada dua jenis, manusia dan binatang. Binatang seperti gajah, kuda atau binatang lainnya bertugas untuk bekerja membantu manusia. Oleh karena itu permata manusia adalah lebih berharga.”

 

“Permata manusia juga ada dua jenis, laki-laki dan perempuan. Perempuan, bahkan jika ia adalah permaisuri seorang raja dunia, ia hanyalah bertugas melayani laki-laki. Oleh karena itu, permata laki-laki adalah lebih berharga.”

 

“Permata laki-laki juga ada dua jenis, perumah tangga (agariya) yang mencari nafkah untuk keluarganya dan petapa (anagariya) yang tidak mencari nafkah untuk keluarganya. Perumah tangga, meskipun ia adalah raja dunia, yang teragung dari kelompok perumah tangga, harus memberi hormat kepada seorang samanera yang baru ditahbiskan sehari. Oleh karena itu permata petapa adalah lebih berharga.”

“Permata petapa juga ada dua jenis, mereka yang masih dalam tahap belajar (sekkha), orang awam atau orang yang telah mencapai pencapaian yang rendah; dan seorang Yang Tak Kembali lagi (asekha), seorang Arahanta. Bahkan seratus ribu orang yang masih dalam tahap belajar, mereka tidak sebanding dengan seorang Yang Tak Kembali lagi, seorang Arahanta, dalam hal kesucian. Oleh karena itu, mereka Yang Tak Kembali lagi adalah lebih berharga.”

 

“Permata Yang Tak Kembali juga ada dua jenis, Buddha dan para siswa-Nya. Bahkan seratus ribu siswa tidak sebanding dengan seorang Buddha dalam hal kesucian. Oleh karena itu, permata Buddha adalah lebih berharga.”

 

“Permata Buddha juga ada dua jenis, Buddha kecil (Pacceka Buddha) dan Buddha Yang Mahatahu (Sabbannu Buddha) atau Yang Mencapai Pencerahan Sempurna (Sammasambuddha). Bahkan seratus ribu Pacceka Buddha tidak sebanding dengan seorang Sammasambuddha. Oleh karena itu Buddha Yang Mahatahu adalah lebih berharga.”

 

“Sesungguhnya, di dunia makhluk-makhluk hidup ini beserta alam dewa dan brahma, tidak ada permata yang dapat menandingi Buddha Yang Mahatahu. Oleh karena itu, aku akan mengirimkan permata istimewa ini kepada temanku Raja Pukkusati.”

 

Dengan pikiran demikian, Raja Bimbisara bertanya kepada para menteri dari Takkasila apakah mereka pernah melihat Tiga Permata, Buddha, Dhamma, dan Samgha di negeri mereka. Para menteri itu menjawab mereka bahkan tidak pernah mendengarnya, apalagi melihatnya. Raja sangat gembira karena sekarang ia berkesempatan mengirimkan hadiah yang tidak ada di Takkasila. Kemudian raja berpikir,

 

“Aku dapat meminta Buddha untuk berkunjung ke Takkasila, kota kerajaan temanku Raja Pukkusati demi kemajuan spiritual penduduk di sana. Tetapi bukanlah kebiasaan Buddha bermalam di daerah perbatasan. Jadi tidak mungkin Buddha pergi ke sana.”

“Andaikan aku memohon dan mengirim Yang Mulia, Sariputta, Moggallana, para SiswaUtama lainnya, dan para Arahanta. Akan tetapi, begitu aku mendengar mengenai keberadaan mereka di daerah perbatasan, aku harus mengirim orang-orangku, dan membawa mereka ke sini dengan cara apa pun dan melayani kebutuhan mereka. Jadi tidak mungkin para Thera itu pergi ke sana.”

 

“Oleh karena itu aku akan mengirim pesan yang berfungsi sama dengan kunjungan Buddha dan para Thera ke Takkasila.”

 

Sang Raja kemudian menyiapkan sehelai kain emas, empat lengan panjangnya dan setengah lengan lebarnya, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis. Pada hari ia akan menulis di kain emas itu, ia mencuci rambutnya pada pagi hari, mandi, bertekad menjalani Delapan Sila dan setelah makan pagi, ia tidak menghias dirinya dengan bunga dan tidak memakai wangi-wangian. Kemudian ia mengambil bubuk merah dalam cangkir emas, ia menutup semua pintu di tingkat bawah dan naik ke tingkat atas. Untuk memperoleh cukup penerangan, ia membuka jendela yang ditopang oleh patung singa di sebelah timur, dan duduk di dalam kamar, raja menulis di atas kain emas tersebut!

 

“Telah muncul di dunia ini, guru yang layak dipuja (Araham), yang telah mencapai Pencerahan Sempurna (Sammasambuddha), memiliki pengetahuan dan perbuatan yang terpuji (Vijja-carana-sampanna), Petapa Mulia (Sugata), yang mengetahui seluruh alam (Lokavidu), pembimbing manusia yang tiada taranya (Anuttaro-purisa-damma-sarathi), guru para dewa dan manusia (Sattha-devamanussanam), yang sadar (Buddha), yang patut dimuliakan (Bhagava).

 

Demikianlah raja pertama-tama menuliskan beberapa cirri mulia Buddha. Kemudian ia menjelaskan bagaimana Bodhisatta melatih Sepuluh Kesempurnaan (Parami); bagaimana Beliau setelah meninggal dunia dari Alam Dewa Tusita, Beliau masuk ke rahim ibu-Nya, bagaimana saat itu terjadi tiga puluh dua keajaiban yang terlihat oleh seluruh dunia dengan jelas, bagaimana keajaiban-keajaiban terjadi saat Beliau masuk ke dalam kandungan, bagaimana Beliau mempraktikkan pertapaan dan berusaha mencapai Pencerahan Sempurna; bagaimana Beliau, duduk di atas Singgasana Aparajita dan mencapai Kemahatahuan di atas Singgasana Aparajita itu, bagaimana Beliau mencapai kekuatan adialami yang luar biasa sehingga Beliau mampu menembus seluruh semesta. Akhirnya, Baja Bimbisara menulis bahwa di seluruh alam dewa dan brahma, tidak ada permata (ratana) selain Buddha-ratana yang memiliki ciri-ciri mulia tersebut. Raja selanjutnya menuliskan ciri-ciri lain dari Buddha dalam syair berikut:

 

Yam kinci vittam idha va huram va.

saggesu va yam ratanam panitam

na no samam atthi Tathagatena;

idampi Buddhe ratanam panitam

etena saccena suvatthi hotu.

 

Kemudian untuk memuji Dhamma-ratana, raja menuliskan enam ciri mulianya, yaitu, “Ajaran Buddha telah dibabarkan dengan sempurna (svakkhata), hasilnya dapat dibuktikan dalam kehidupan ini juga ( sanditthika), bermanfaat langsung (akalika), mengundang makhluk-makhluk untuk ‘datang dan melihat’ (ehipassika), layak dipelajari (opaneyyika) dan layak dilaksanakan oleh para bijaksana (paccattam-vedittabha vinnuhi). Raja juga menyebutkan ciri-ciri istimewa seperti Tiga Puluh Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma) yaitu Empat Landasan Perhatian Murni (Satipatthana), empat usaha benar (sammappadhana), empat jalan menuju pencapaian kekuatan adialami (iddhipada), lima indria (indriya), lima kekuatan (bala), Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (bojjhanga) dan Jalan Berfaktor Delapan (magganga).

 

Kemudian Raja menjelaskan ciri-ciri mulia Dhamma sebagai berikut:

Yam buddhasettho parivannai sucim

samadhimanantarikannamahu;

samadhina tena samo na vijjati,

idampi dhamme ratanam panitam

etena saccena suvatthi hotu

Kemudian Raja memuji Samgha-ratana dengan menuliskan sembilan ciri-ciri mulia, empat yang pertama adalah “Para siswa Buddha bertindak-tanduk baik (supatipannata), jujur (ujupatipannata), perbuatan mereka mengarah menuju Nibbana (nayapatipannata); karena perbuatannya, mereka layak diberi penghormatan (samicipatipannata); dengan memiliki sifat-sifat ini (yang menjadi penyebab), mereka layak diberi persembahan yang dibawa dari jauh (Ahuneyyo), layak diberikan tempat bernaung (Pahuneyyo), layak diberi persembahan yang baik (dakhineyya), layak diberi penghormatan (anjali-karaniya), dan mereka adalah lahan yang terbaik bagi makhluk-makhluk untuk menanam benih kebajikan (anuttara-punnakkhetta lokassa). Raja melanjutkan tulisannya:

 

“Para anggota keluarga yang berasal dari kelahiran yang tinggi dan berperilaku baik, mendengar sabda Buddha dan melepaskan keduniawian untuk menjadi bhikkhu. Beberapa melakukannya dengan meninggalkan kemewahan seorang raja, beberapa lainnya meninggalkan kemewahan seorang pangeran mahkota, beberapa lainnya lagi meninggalkan kemewahan seorang jenderal, dan seterusnya. Setelah menjadi bhikkhu, mereka menjalani kehidupan mulia.” Setelah kata-kata pengantar ini, sehubungan dengan kehidupan mulia, raja menuliskan sesuatu mengenai moralitas rendah (cula-sila), moralitas menengah (majjhima-sila), moralitas tinggi (maha-sila), dan lain-lain, seperti yang terdapat pada Brahmajala Sutta. Ia juga menuliskan tentang pengendalian enam indria, melatih perhatian dengan tekun (sati-sampajanna), kepuasan terhadap empat kebutuhan hidup, sembilan jenis tempat tinggal yang layak untuk melatih meditasi, mengatasi lima rintangan (nivarana), mempersiapkan objek-objek meditasi (kasina) untuk melatih pikiran, pengembangan Jhana dan kekuatan adialami, tiga puluh delapan jenis meditasi, dan seterusnya, semuanya menuju pencapaian Kearahattaan.

 

Setelah menjelaskan secara terperinci enam belas jenis perhatian terhadap pernapasan (anapanasati) sebagai objek meditasi, raja memuji para siswa Buddha di dalam Sangha:

 

Ye puggala atthasatam pasattha

cattari etani yugani honti.

te dakkhineyya sugatassa savaka

etesu dinnani mahapphalani.

idampi Samgha ratanam panitam

etena saccena suvatthi hotu.

 

Sang raja menambahkan, “Ajaran Buddha beserta Tiga Latihan-Nya (sikkha) adalah indah pada permulaan, indah pada pertengahan, dan indah pada akhirnya. Ajaran-Nya pasti mengarah menuju Pembebasan dari samsara. Temanku, Pukkusati, aku ingin mengajakmu untuk melepaskan keduniawian dan menjadi bhikkhu jika engkau bisa.”

 

Raja Bimbisara kemudian menggulung kain emas itu, membungkusnya dengan kain berkualitas baik, selanjutnya menyimpannya di dalam peti terbuat dari kayu cendana, peti kayu cendana itu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah peti emas, peti emas dimasukkan ke dalam peti perak, peti perak dimasukkan ke dalam peti batu delima, peti batu delima dimasukkan ke dalam peti batu koral, peti batu koral dimasukkan ke dalam peti batu delima jingga. Peti batu delima jingga dimasukkan ke dalam peti batu delima lurik (masaragalla), peti batu delima lurik dimasukkan ke dalam peti kristal, peti kristal dimasukkan ke dalam peti gading, peti gading dimasukkan ke dalam peti sepuluh permata, peti sepuluh permata dimasukkan ke dalam peti bambu, peti bambu dimasukkan ke dalam kotak cendana, kotak cendana dimasukkan ke dalam kotak emas, kotak perak, kotak batu delima, kotak koral, kotak batu delima jingga, kotak batu delima lurik, kotak kristal, kotak gading, kotak sepuluh permata, dan kotak bambu berturut-turut, satu kotak di dalam kotak lainnya.

 

Kemudian kotak bambu itu dimasukkan ke dalam peti kayu cendana, peti kayu cendana dimasukkan ke dalam peti emas, kemudian seperti sebelumnya, ke dalam peti perak, peti batu delima, peti koral, peti batu delima jingga, peti batu delima lurik, peti kristal, peti gading, peti sepuluh permata, dan peti bambu berturut-turut. Kemudian setelah membungkus peti bambu itu dengan sehelai kain berkualitas baik, dan menyegelnya dengan stempel kerajaan, raja memerintahkan para menterinya, “Hiaslah jalan-jalan dalam wilayah kekuasaanku, semua jalan harus memiliki lebar delapan usabha, dua bagian masing-masing dua usabha lebarnya di kedua sisi jalan harus diratakan, dan bagian tengah yang lebarnya empat usabha harus dihiasi dengan hiasan kerajaan.” (1 usabha = 20 yatthi, 1 yatthi = 7 ratanam, 1 ratanam = 2 vadatthi, 1 vadatthi = 12 angulam, 1 anggulam = 1 inchi. Dengan demikian 1 usabha = 280 kaki.)

 

Kemudian raja mempersiapkan tempat duduk di atas seekor gajah istana yang berhiasan penuh, menaunginya dengan sebuah payung putih, menyapu jalan-jalan di kota dan memerciknya dengan air. Bendera dan umbul-umbul, dan spanduk dipasang di mana-mana. Di kedua sisi jalan, dipasang hiasan pohon-pohonan, kendi-kendi berisi air, bunga-bunga harum, dan indah. Utusan-utusan dikirim ke semua kepala daerah untuk menyampaikan pesan,

 

“Kalian harus memberi hormat kepada hadiah kerajaan saat ia melintasi wilayah kalian.”

 

Megah dengan segala tanda-tanda kebesaran, dan disertai oleh para menterinya, raja berangkat, membawa hadiah suci menuju perbatasan diiringi upacara yang megah dan berbagai alunan musik. Diam-diam ia memberitahu wakilnya yang bertanggung jawab menyerahkan hadiah itu,

 

“Aku ingin temanku menerima hadiah ini tidak di depan permaisurinya tetapi di teras atas istananya.”

 

Sang raja memuliakan hadiah sucinya dengan hormat dan menganggap perjalanannya sebagai perjalanan mengunjungi Buddha di daerah perbatasan. Kemudian ia kembali ke Kota Rajagah.

 

Para gubernur dan walikota memperbaiki jalan-jalan dengan cara yang sama dan mengirimkan hadiah suci itu dari satu tempat ke tempat lainnya.

 

Penerimaan Oleh Raja Pukusati

Raja Pukkusati juga membersihkan jalan-jalan dari perbatasan hingga ke dalam kota, menghias kota dengan menerima hadiah suci itu dengan penuh kemegahan.

Hadiah suci itu secara ajaib tiba di Takkasila bertepatan pada hari uposatha. Sang menteri yang membawa hadiah itu menyampaikan pesan kepada raja yang ia terima secara lisan dari Raja Bimbisara.

 

Mendengar pesan itu, Raja Pukkusati melakukan pengaturan untuk memberikan kenyamanan para tamu dan mengambil sendiri hadiah itu dan pergi ke lantai atas istananya. Ia menempatkan penjaga di pintu untuk mencegah orang masuk ke dalam istana, kemudian ia membuka jendela, menempatkan hadiah itu di tempat yang tinggi dan kemudian ia duduk di tempat yang lebih rendah. Kemudian ia membuka segel kerajaan dan kain penutup bagian luar dan setelah membuka kotak itu satu demi satu, ia melihat kotak kayu cendana yang terletak paling dalam, ia menyimpulkan, “Cara hadiah ini dibungkus sangat berbeda dengan hadiah-hadiah duniawi lainnya. Ini pasti sebuah ratana yang telah muncul di Wilayah Tengah dan layak diperhatikan.”

 

Kemudian raja membuka peti harum itu, membuka segel kerajaan dan memegang kain berkualitas baik itu di kedua sisinya, ia membuka gulungan itu dengan hati-hati dan melihat gulungan emas. Ia terheran menatap tulisan indah itu, huruf-hurufnya sempurna membentuk tulisan tangan yang indah. Raja membaca huruf demi huruf dalam pesan itu.

 

Saat ia membaca ciri-ciri mulia Buddha, yang dimulai dengan “Telah muncul di dunia ini, Buddha,” ia merasakan kegembiraan luar biasa sehingga bulu di sembilan puluh sembilan ribu pori-porinya berdiri. Ia bahkan tidak menyadari posisi berdiri atau duduknya. Ia sangat bersyukur saat ia berpikir mengenai kesempatan yang ia miliki. Ia berterima kasih kepada temannya Raja Bimbisara, karena memberinya kesempatan untuk mendengarkan pesan mengenai Buddha-ratana yang sangat sulit terdengar bahkan dalam masa jutaan kappa.

 

Karena tidak sanggup membaca lebih lanjut. Raja Pukkusati duduk sambil merenung hingga kegembiraannya berangsur-angsur berkurang. Kemudian ia melanjutkan membaca ciri-ciri mulia Dhamma yang dimulai dengan svakkhata. Raja mengalami kegembiraan seperti sebelumnya. Duduk merenung hingga kegembiraannya berangsur-angsur berkurang, ia membaca ciri-ciri kemuliaan Samgha yang dimulai dengan Suppatipanna dan sekali lagi ia mengalami kegembiraan seperti sebelumnya.

 

Raja Pukkusati Mencapai Jhana dan Menjadi Bhikkhu

Kemudian raja membaca bagian terakhir dari gulungan kain emas itu yang menjelaskan tentang meditasi dengan objek perhatian terhadap pernapasan. Ia bermeditasi sesuai instruksi dari tulisan itu dan mencapai Jhana Rupavacara penuh. Ia melewatkan waktunya menikmati kebahagiaan Jhana tanpa mengizinkan siapa pun datang menghadapnya kecuali seorang pelayan muda. Demikianlah ia melewatkan waktunya selama setengah bulan (lima belas hari).

 

Penduduk kota berkumpul di halaman istana dan menuntut kemunculan raja dengan berkata,

 

“Sang raja berhenti memeriksa pasukan atau menikmati hiburan sejak saat ia menerima hadiah kerajaan. Ia juga berhenti memberikan keputusan-keputusan kerajaan. Kami ingin raja memperlihatkan hadiah kerajaan yang dikirimkan oleh temannya Raja Bimbisara. Beberapa raja berniat mencaplok sebuah negeri dengan memikat penguasanya dengan hadiah-hadiah. Apakah yang sedang dilakukan oleh raja kita sekarang?”

 

Ketika raja mendengar teriakan-teriakan itu, ia merenungkan apakah ia akan tetap bekerja demi kesejahteraan negerinya atau mengikuti ajaran Buddha. Kemudian ia berpikir, “Tidak ada perhitungan matematis yang dapat menghitung banyaknya kelahiran yang telah kualami sebagai seorang penguasa dari sebuah kerajaan. Oleh karena itu aku akan berlatih mempraktikkan ajaran Buddha.” Dengan pikiran demikian, ia mengambil pedang yang diletakkan di dekat tempat tidurnya, memotong rambutnya, membuka jendela dan melemparkan gulungan rambutnya beserta pengikat rambutnya yang terbuat dari batu delima ke tengah-tengah kerumunan, dan berkata, “Orang-orangku! Ambillah gulungan rambutku dan perlakukan ia sebagai raja.”

 

Para penduduk menerima gulungan rambut beserta pengikat rambut batu delima dan berkata dengan sedih, “O Raja Besar, apakah semua raja yang menerima hadiah dari temannya seperti engkau?” Rambut Raja Pukkusati panjangnya selebar dua jari tangan seperti rambut Bodhisatta pada malam Beliau melepaskan keduniawian.

 

Kemudian raja menyuruh pelayan mudanya pergi ke pasar untuk membeli dua helai jubah celup dan sebuah mangkuk tanah. Kemudian ia berkata, “Aku mempersembahkan kebhikkhuanku kepada Yang Mulia Buddha yang layak mendapat penghormatan di dunia ini,” ia mengenakan sehelai jubah sebagai jubah bawah, dan mengenakan sehelai lainnya sebagai jubah atas dan, dengan mangkuk tergantung di bahu kirinya dan sebatang tongkat di satu tangan, ia melangkah dua atau tiga kali di luar istana untuk melihat apakah ia sudah terlihat layak sebagai seorang bhikkhu. Ia gembira mengetahui bahwa ia pantas menjadi bhikkhu. Kemudian ia membuka pintu utama dan melangkah turun dari istananya.

 

Para penari dan orang-orang lainnya yang menunggu berturut-turut di tiga pintu melihat Bhikkhu Pukkusati turun, tetapi mereka tidak mengenali raja. Mereka menduka bahwa seorang Pacceka Buddha telah datang untuk memberikan khotbah kepada raja. Hanya setelah mereka naik ke tingkat tertinggi istana itu dan secara saksama memeriksa tempat duduk raja, baru mereka menyadari kepergian raja dan mereka seketika menangis bagaikan orang-orang yang terperangkap di dalam perahu yang tenggelam di tengah lautan.

 

Saat Bhikkhu Pukkusati sampai di tanah, semua penduduk dan pasukan mengelilinginya dan menangis sedih. Para menteri berkata kepada Pukkusati,

 

“Raja Besar! Raja-raja di Wilayah Tengah sangat licik. Engkau sebaiknya pergi hanya setelah mengirim utusan dan menyelidiki untuk memastikan apakah Buddha-ratana telah benar-benar muncul di dunia ini atu tidak. Sementara itu, engkau sebaiknya kembali ke istana.”

Tetapi Bhikkhu Pukkusati tetap pergi sambil berkata, “Teman-teman, aku memercayai temanku, Raja Bimbisara. Temanku Raja Bimbisara tidak pernah berkata bohong kepadaku. Engkau pergilah.” Namun para menteri dan para penduduk tetap mengikuti raja.

 

Pukkusati kemudian membuat tanda di atas tanah dengan tongkatnya dan bertanya kepada para penduduk, “Milik siapakah negeri ini?” mereka menjawab, “Raja Besar, ini adalah negerimu.” Kemudian bhikkhu itu berkata, “Siapa yang menghancurkan tanda ini harus dihukum dengan kuasa dari raja.” Dalam Mahajanaka Jataka, Ratu Sivalidevi tidak berani menghapus garis yang digambar di tanah oleh Bodhisatta, Raja Maha Janaka. Maka dengan cerdik ia bergulingan di tanah mengakibatkan garis itu terhapus dan kemudian mengikuti raja. Para penduduk juga mengikuti melalui jalan yang telah dibuka oleh ratu. Tetapi dalam hal garis yang digambar oleh Raja Pukkusati, para penduduk tidak berani menghapusnya dan hanya bisa menangis memandangi garis itu.

 

Raja Pukkusati

Raja Pukkusati pergi sendirian tanpa mengajak seorang pelayan atau budak yang akan menyediakan sikat gigi atau air untuk mencuci muka sepanjang perjalanannya. Ia berjalan sendirian, menyadari kenyataan bahwa, “Guruku, Buddha melepaskan keduniawian (saat masih seorang Bodhisatta) dan pergi sendirian untuk menjadi bhikkhu.” Tergerak untuk mengikuti sejauh mungkin teladan yang diberikan oleh Buddha dan mengingat bahwa Buddha tidak pernah menggunakan kendaraan, ia bahkan tidak memakai sandal dan bahkan tidak menggunakan payung yang terbuat dari daun sekalipun. Para penduduk memanjat pohon, tembok-tembok kota, menara-menara atau tangga-tangga yang terletak di tembok atau benteng, dan lain-lain untuk melihat kepergian raja mereka sendirian.

 

Raja Pukkusati berpikir, “Aku harus melakukan perjalanan ini. Aku tidak mampu membiayai pejalanan ini sendirian.” Maka ia mengikuti serombongan pedagang. Karena ia berjalan kaki di atas tanah yang kasar di bawah terik matahari, telapak kakinya pecah dan luka, menyebabkan sakit dan penderitaan luar biasa. Saat rombongan pedagang itu berhenti dan mendirikan kemah dari dahan-dahan dan daun-daun, Pukkusati juga berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon. Ia memasuki Jhana Keempat melalui meditasi pernapasan, melenyapkan kelelahannya dan melewatkan waktunya dalam kebahagiaan Jhana.

 

Keesokan paginya, ia membersihkan badannya dan kembali mengikuti rombongan pedagang itu. Ketika tiba waktunya makan pagi, para pedagang itu mengambil mangkuknya dan memberinya makanan. Kadang-kadang makanannya belum cukup matang, kadang-kadang terlalu lunak, kadang-kadang kasar berpasir, kadang-kadang terlalu asin, dan kadang-kadang kurang garam. Bhikkhu itu tidak peduli apakah makanannya lunak atau keras, kasar atau lembut, asin atau kurang garam, ia memakannya bagaikan memakan makanan surgawi.

 

Demikianlah akhirnya ia tiba di Savatthi, setelah melakukan perjalanan sejauh seratus sembilan puluh dua yojana. Meskipun rombongan pedagang itu melewati Vihara Jetavana di kota, ia tidak pernah berpikir untuk bertanya di mana Buddha berada. Hal ini karena (1) hormatnya kepada Buddha dan (2) pesan dari Raja Bimbisara.

 

(1)Sepanjang perjalanannya, Pukkusati memusatkan pikirannya ke arah Buddha tanpa memikirkan hal-hal lainnya. Saat mendekati Jetavana, dengan penuh hormat kepada Buddha, ia bahkan tidak pernah bertanya-tanya di manakah Buddha berdiam. Pertanyaan mengenai Buddha tidak pernah muncul dalam dirinya.

(2)Pesan dari Raja Bimbisara yang mengatakan bahwa “ Buddha muncul di dunia ini.” Dari pesan itu Pukkusati yakin bahwa Buddha berdiam di Rajagaha. Maka, walaupun ia melewati Vihara Jetavana, ia tidak menanyakan tempat kediaman Buddha dan terus melanjutkan perjalanannya, akhirnya tiba di Rajagaha, empat puluh lima yojana jauhnya dari Savatthi.

 

Sesampainya di Rajagaha setelah matahari terbenam, Pukkusati melihat banyak vihara dan menyimpulkan dari pesan Raja Bimbisara bahwa Buddha berdiam di Rajagaha, ia bertanya kepada para penduduk mengenai di mana Buddha menetap. Para penduduk bertanya dari mana ia datang dan mendengar bahwa ia datang dari utara, mereka berkata, “Yang Mulia, engkau berjalan terlalu jauh. Buddha menet/spanfont-size: 13.0pt; line-height: 150%; font-family: STXinwei;text-align: justify; text-justify: inter-ideograph; line-height: 150%;text-align: justify; text-justify: inter-ideograph; line-height: 150%;ap di Savatthi, empat puluh lima yojana jauhnya dari Rajagaha ke arah dari mana engkau datang.” Bhikkhu itu berpikir, “Sekarang, sudah terlalu larut. Aku tidak dapat mengunjungi Buddha hari ini. Aku akan melewatkan malam ini di sini dan menjumpai Buddha besok.” Ia bertanya kepada para penduduk mengenai di mana tempat untuk para petapa yang datang ke Rajagaha setelah matahari terbenam. Para penduduk menunjukkan sebuah gubuk kecil milik seorang pembuat tembikar sebagai tempat peristirahatan bagi bhikkhu-bhikkhu yang berkunjung. Dengan izin si pembuat tembikar, bhikkhu itu memasuki gubuk dan duduk melewatkan malam itu.

 

Kedatangan Buddha

Pada dini hari itu, Buddha memeriksa dunia makhluk-makhluk hidup dan melihat Pukkusati, Buddha berpikir,

 

“Orang ini yang berasal dari keluarga baik, membaca pesan yang dikirim oleh temannya Raja Bimbisara dan setelah meninggalkan wilayah kekuasaannya Takkasila, yang luasnya seratus yojana, ia menjadi bhikkhu untuk-Ku. Hari ini ia akan tiba di Rajagaha setelah berjalan sejauh seratus sembilan puluh dua yojana dan empat puluh lima yojana lagi melewati Savatthi.”

“Jika Aku tidak menjumpainya, ia akan melewati malam ini dan meninggal dunia tanpa mencapai tiga tingkat Buah yang lebih rendah. Jika Aku menjumpainya, ia akan menembus tiga tingkat Buah yang lebih rendah di dalam Jalan Mulia dan terbebaskan. Aku telah mengembangkan dan melatih Kesempurnaan selama berkappa-kappa karena welas asih kepada makhluk-makhluk. Sekarang Aku akan pergi menjumpainya demi kemajuan spiritualnya.”

 

Maka pagi-pagi sekali Buddha membersihkan badan-Nya dan memasuki Savatthi bersama para bhikkhu untuk mengumpulkan dana makanan. Sore harinya, Ia meninggalkan kota itu, beristirahat sejenak di dalam Kuti Harum dan berpikir,

 

“Orang ini yang berasal dari keluarga baik telah melakukan sesuatu untuk-Ku yang sangat sulit dilakukan oleh orang-orang lain. Setelah meninggalkan kekuasaannya, Takkasila yang luasnya seratus yojana, ia pergi sendirian tanpa didampingi oleh seorang pelayan untuk menyediakan air pencuci mukanya.” Buddha memikirkan jerih payah bhikkhu itu dan tanpa mengajak Yang Mulia Sariputta atau Monggallana atau siswa lainnya, Beliau meninggalkan Savatthi, membawa mangkuk dan jubah-Nya sendiri.

 

Buddha tidak terbang di angkasa atau memperpendek jarak perjalanan itu, tetapi Beliau berjalan kaki karena mengetahui bahwa demi diri-Nya bhikkhu itu tidak mengendarai kereta kuda atau gajah atau tandu emas, tetapi ia datang bertelanjang kaki tanpa sandal atau payung.

 

Dengan kemegahan seorang Buddha lengkap dengan tanda-tanda istimewa-Nya dan enam berkas sinar tubuh-Nya, dan lain-lain, yang menyelubungi-N ya bagaikan awan menyelimuti bulan, Buddha melakukan perjalanan sepanjang sore hari itu (kira-kira enam jam) dan menempuh jarak sejauh empat puluh lima yojana, Ia tiba di gubuk si pembuat tembikar saat matahari terbenam persis sesaat setelah Bhikkhu Pukkusati memasuki gubuk itu. Buddha datang dengan menyembunyikan kemuliaan-Nya agar bhikkhu itu dapat beristirahat dengan nyaman. Seseorang yang kelelahan tidak dapat menembus Dhamma.

 

Ketika Buddha tiba di dekat gubuk si pembuat tembikar, Beliau tidak memasukinya seperti layaknya seorang Buddha Yang Mahatahu, melainkan Ia berdiri di pintu masuk dan meminta izin kepada bhikkhu itu untuk beristirahat di sana. Pukkusati menganggap Buddha adalah seorang bhikkhu biasa dan dengan senang hati memberikan izin kepada-Nya dengan berkata, “Temanku, gubuk ini sangat tenang. Tidak sempit. Engkau boleh tinggal dengan nyaman sesuka-Mu di sini.”

 

(Bagaimana mungkin Bhikkhu Pukkusati yang telah meninggalkan kekuasaannya di Negeri Takkasila yang luasnya seratus yojana enggan membagi akomodasi yang ia peroleh di dalam sebuah gubuk dengan seorang bhikkhu lain? Ia sama sekali tidak merasa keberatan. Beberapa bhikkhu yang dungu dan sombong (mogha purisa) sangat kikir dan ingin menguasai tempat tinggal mereka (avasa-macchariya) dan meniadakan akomodasi bagi bhikkhu lainnya.) (Komentar)

 

Buddha yang sangat halus dan lembut meninggalkan Kuti Harum yang seperti istana surgawi dan memasuki gubuk si pembuat tembikar yang kotor dan menjijikkan, penuh dengan debu, pecahan kendi, jerami, dan kotoran ayam dan babi. Di sini, di tengah-tengah kotoran itu, Buddha membuat alas tidur dari rumput, menghamparkan jubah dan duduk dengan tenang seolah-olah berada di dalam kamar yang harum oleh dupa surgawi.

 

Demikianlah kedua orang yang berasal dari keluarga khattiya itu, yang memiliki jasa kebajikan masa lampau, yang meninggalkan kemewahan istana untuk menjadi bhikkhu, yang memiliki kulit keemasan, yang telah mencapai tingkatan yang teramat dalam, Buddha dan Pukkusati, keduanya duduk di dalam gubuk si pembuat tembikar, menyebabkan gubuk itu terlihat sangat indah bagaikan gua kristal tempat tinggal dua raja singa.

 

Buddha tidak pernah berpikir, “Aku sangat haus dan Aku telah melakukan perjalanan sejauh empat puluh lima yojana sepanjang sore (selama enam jam). Sekarang Aku akan berbaring ke arah kanan untuk melenyapkan kelelahan-Ku.” Tanpa berpikir demikian, Buddha memasuki Jhana Keempat dari Buah (Phala Samapatti) sambil duduk.

 

Demikian pula, Bhikkhu Pukkusati tidak berpikir untuk berbaring sejenak melenyapkan kelelahannya dari berjalan dengan kaki telanjang sejauh seratus sembilan puluh dua yojana. Ia juga memasuki Jhana Keempat melalui pernapasan sambil duduk.

 

(Di sini, tujuan kunjungan Buddha adalah mengajarkan kepada Pukkusati, tetapi mengapa Beliau memasuki Jhana Keempat, bukannya mengajari bhikkhu tersebut? Buddha tidak mengajarkannya segera karena saat itu bhikkhu tersebut masih letih dan lelah. Ia tidak akan dapat menghargai ajaran itu. Oleh karena itu Buddha menunggu sampai kelelahannya lenyap.)

(Guru-guru lain mengatakan bahwa Rajagaha adalah kota kerajaan yang berpenduduk padat dengan angkasa yang dipenuhi dengan sepuluh jenis suara, bahwa Buddha menunda khotbah-Nya hingga tengah malam saat kota telah benar-benar sunyi dan tenang.) Pandangan ini tidak dapat diterima, karena tentu saja Buddha secara adialami dapat mengalahkan bahkan suara yang menjangkau hingga alam brahma. Dengan kata lain, Beliau dapat membuat suara itu tidak terdengar oleh para bhikkhu. Sesungguhnya, Buddha menunggu hingga tengah malam agar para bhikkhu memulihkan diri dari kelelahan.)

 

Buddha meninggalkan Savatthi pada siang hari, berjalan kaki menuju Rajagaha yang jauhnya empat puluh lima yojana, sampai di gubuk pembuat tembikar saat matahari terbenam, memasuki gubuk itu atas izin bhikkhu tersebut dan tenggelam dalam Phala Samapatti selama enam jam. Keluar dari Jhana saat tengah malam, Beliau membuka kedua mata-Nya, yang memiliki lima jenis kepekaan, bagaikan membuka jendela istana emas. Kemudian Beliau melihat Bhikkhu Pukkusati duduk tenggelam dalam Jhana Keempat (melalui objek pernapasan) bagaikan patung emas, tanpa adanya gerakan tangan, kaki atau kepala, tenang dan tidak terganggu bagaikan tiang pintu yang kokoh. Buddha berpikir bahwa posisi bhikkhu itu sangat mengesankan dan memutuskan untuk memulai percakapan.

 

Dari keempat posisi tubuh, yaitu, berjalan, berdiri, berbaring, dan duduk, tiga posisi pertama kurang terhormat. Tangan, Kaki, dan kepala seorang bhikkhu yang sedang berjalan selalu bergerak. Tubuh seorang bhikkhu yang sedang berdiri cenderung kaku. Posisi berbaring juga tidak menyenangkan. Sesungguhnya, hanya posisi duduk dari seorang bhikkhu yang setelah menyapu tempat meditasinya pada sore hari, menghamparkan alas duduknya, membersihkan tangan dan kaki, duduk bersila merupakan posisi yang terhormat. Bhikkhu Pukkusati duduk bersila dalam Jhana Keempat melalui meditasi pernapasan yang menyenangkan Buddha.

 

(Buddha mengetahui bahwa Pukkusati menjadi bhikkhu unutk menghormati-Nya. Tetapi Ia memutuskan untuk menanyainya, karena jika tidak begitu, maka tidak akan ada percakapan. Tidak ada percakapan artinya tidak ada khotbah yang disampaikan. Maka Beliau memulai percakapan dengan tujuan untuk menghaluskan jalan menuju pembabaran khotbah.)

 

Buddha bertanya kepada bhikkhu itu kepada siapakah ia mengabdikan kehidupan suci yang ia jalani, siapakah gurunya dan ajaran siapakah yang ia jalankan. Bhikkhu itu menjawab bahwa ia mengabdikan hidupnya kepada Buddha dan seterusnya.

 

Kemudian, Buddha bertanya lagi di manakah Yang Termulia, yang telah mencapai Pencerahan Sempurna berdiam. Bhikkhu Pukkusati menjawab, “Temanku, ada sebuah kota di wilayah utara. Yang Termulia, yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, sekarang menetap di kota itu.” Ketika Buddha bertanya apakah ia pernah bertemu dengan Buddha, dan jika bertemu dengan-Nya sekarang apakah ia dapat mengenali-Nya, Pukkusati menjawab bahwa ia belum pernah bertemu dengan Beliau dan ia tidak akan mengenali-Nya jika ia bertemu dengan-Nya sekarang.

 

(Di sini, semua orang mengenali Buddha dari kemuliaannya. Hal ini tidaklah mengherankan. Tetapi, adalah sulit bagi banyak orang untuk mengenali Buddha yang sedang dalam samaran sebagai seorang bhikkhu biasa yang sedang mengumpulkan dana makanan, dan menyembunyikan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, Bhikkhu Pukkusati menjawab dengan jujur bahwa ia tidak akan dapat mengenali Buddha. Ia tidak mengetahui meskipun ia berada di gubuk yang sama dengan Buddha.)

 

Mengetahui bahwa kelelahan bhikkhu itu telah lenyap, Buddha memutuskan untuk membabarkan khotbah kepadanya, raja “yang telah mengabdikan kebhikkhuannya untuk-Ku,” Buddha berkata, “Bhikkhu! Aku akan mengajarkan engkau. Dengarkanlah ajaran-Ku. Ingatlah dengan baik. Aku akan mengajarkan Dhamma dengan saksama kepadamu.” (Hingga saat ini Bhikkhu Pukkusati masih belum mengetahui bahwa temannya adalah Buddha.)

 

Pukkusati telah meninggalkan kerajaannya setelah membaca pesan dari temannya Raja Bimbisara dan menjadi bhikkhu agar dapat mendengarkan Dhamma manis dari Buddha. Ia telah melakukan perjalanan yang sangat jauh tanpa bertemu dengan siapa pun yang peduli mengajarkannya. Oleh karena itu, mengapa ia harus menolak pengajaran dari temannya? Bagaikan orang yang kehausan, ia sangat ingin meminum air Dhamma. Maka dengan senang hati ia setuju untuk mendengarkan ajaran itu. Kemudian Buddha memberikan ringkasan dari Dhatuvibhanga Sutta sebagai berikut:

 

“Bhikkhu! Seseorang atau makhluk terdiri dari enam unsur, enam organ indria, delapan belas pikiran, empat jenis pendukung. Ia yang hidup mengandalkan empat pendukung ini adalah bebas dari arus keangkuhan yang lahir dari khayalan diri, ketika arus keangkuhan lenyap dari dalam diri seorang bhikkhu, ia dikatakan telah melenyapkan asava atau kotoran batin. (1) ia harus penuh perhatian terhadap Pengetahuan Vipassana (Pandangan Cerah), (2) ia harus mengatakan Kebenaran, (3) ia harus berusaha meninggalkan kotoran moral, (4) ia harus melatih Dhamma hanya untuk memadamkan kotoran batin.” (Demikianlah ringkasan dari Dhatuvibhanga Sutta.)

 

Setelah menyebutkan dasar-dasar Dhamma ini, Buddha menjelaskan satu demi satu secara terperinci. (Dhatuvibhanga Sutta dari Majjhima-Nikaya).

 

Pukkusati Mencapai Kesucian Anagami

Ketika Buddha menjelaskan Dhamma yang pertama, yaitu, perhatian terhadap Pengetahuan Vipassana, Buddha membabarkan hingga ke tingkat kesucian Arahatta dan Pukkusati berhasil mencapai tiga tingkat Buah yang lebih rendah karena kebajikan masa lampaunya dan menjadi seorang Ariya (seorang mulia) dengan tingkat kesucian Anagami.

 

Misalnya, sewaktu seorang raja sedang memakan makanan yang terdiri dari berbagai rasa di dalam mangkuk emas, ia akan mengambil nasi sebanyak yang sebanding dengan ukuran mulutnya. Ketika seorang pangeran kecil yang duduk di pangkuannya, ingin makan, raja akan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, dari nasi yang diambil untuk dimakannya. Anak itu akan memakan sejumlah yang sebanding dengan ukuran mulutnya. Sedangkan sisanya akan dimakan oleh raja itu atau dikembalikan ke dalam mangkuk emas. Demikian pula, Buddha, Raja Dhamma, membabarkan Dhamma yang mengarah kepada Kearahattaan, khotbah yang sesuai dengan kekuatan intelektualnya dan berdasarkan kebajikan masa lampaunya. Bhikkhu Pukkusati hanya dapat mengkonsumsi tiga perempat makanan Dhamma itu, yang adalah Jalan, dan menjadi Anagami Ariya.

 

Pukkusati tidak meragukan Dhamma sebelum mencapai kesucian Anagami-Phala dan saat ia mendengarkan khotbah Buddha mengenai kelompok-kelompok kehidupan, organ-organ indria, unsur-unsur atau bentukan-bentukan pikiran, dsan seterusnya. Tetapi ia masih ragu apakah manusia cerdas yang terlihat seperti seorang biasa dan yang sedang mengajarinya itu adalah seorang Buddha karena ia mendengar bahwa Buddha sering bepergian ke beberapa tempat dengan menyamar. Namun demikian, setelah ia mencapai Buah Anagami, ia sama sekali tidak meragukan bahwa gurunya itu adalah Buddha.

 

Sebelum ia mengenali Buddha, ia memanggil Buddha dengan sebutan “Temanku!”, ia belum meminta maaf atas kekeliruannya karena Buddha masih membabarkan khotbah-Nya yang berurutan, dan bhikkhu itu belum berkesempatan untuk meminta maaf.

 

Pukkusati Memohon Penahbisan

Pada akhir khotbah tersebut terjadi percakapan antara Buddha dan Bhikkhu Pukkusati.

 

Pukkusati, “Yang Mulia, guru para dewa dan manusia, telah datang ke sini karena welas asih terhadapku! Buddha yang membabarkan Dhamma yang sempurna telah datang ke sini karena welas asih terhadapku! Yang Mulia, yang memahami semua Dhamma telah datang ke sini karena welas asih terhadapku.” (Sambil mengucapkan kata-kata gembira, ia bangkit dan meletakkan kepalanya di kaki Buddha dan manambahkan) “Buddha Yang Agung! Karena kebodohanku, aku telah melakukan kesalahan. Aku telah menganggap bahwa Engkau layak kupanggil “temanku” (dan aku memang telah keliru memanggil-Mu demikian). Buddha Yang Agung, mohon maafkan aku atas kekeliruan ini yang harus kukendalikan pada masa mendatang.”

Buddha, “Bhikkhu! Karena ketidaktahuanmu, engkau telah melakukan kekeliruan. Engkau menganggap-Ku layak dipanggil sebagai “teman” (dan engkau memang memanggil-Ku demikian). Bhikkhu! Aku memaafkan engkau atas kekeliruan ini karena engkau mengakuinya dan memperbaiknya. Kelak engkau harus mengendalikan dirimu. Penebusan dan pengendalian diri demikian berguna bagi kesejahteraan mereka yang menjalani ajaran-Ku.”

 

Pukkusati, “Buddha Yang Agung, izinkan aku menerima penahbisan dari-Mu.”

Buddha, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah(-mu sendiri)?”

Pukkusati, “Tidak, Buddha Yang Mulia, aku tidak memilikinya.”

Buddha, “Bhikkhu! para Buddha tidak menahbiskan mereka yang tidak memiliki mangkuk dan jubah.”

 

Yang Mulia Pukkusati sangat gembira atas ajaran Buddha. Ia mengungkapkan penghargaannya, bangkit dari duduknya, memberi hormat kepada Buddha dan pergi mencari mangkuk dan jubahnya.

 

(Catatan: mengapa Pukkusati tidak menerima mangkuk dan jubah yang diciptakan secara gaib untuk para bhikkhu yang ditabiskan dengan cara sederhana dengan mengucapkan “Datanglah, Bhikkhu!” disebutkan bahwa ia tidak menarimanya karena ia tidak pernah mempersembahkan delapan kebutuhan bhikkhu dalam kehidupan lampaunya. (Penjelasan ini tidak dapat diterima oleh komentator). Seorang yang telah memberikan persembahan dan yang memiliki cita-cita besar, tidak mungkin tidak pernah memberikan delapan kebutuhan bhikkhu. Sesungguhnya, mangkuk dan jubah yang diciptakan secara gaib hanya diberikan kepada para bhikkhu dalam kehidupan terakhir mereka. Pukkusati masih akan terlahir kembali. Oleh karena itu ia tidak mendapat barang-barang kebutuhan yang diciptakan secara gaib tersebut.)

(Buddha tidak mencarikan mangkuk dan jubah untuk menahbiskan Pukkusati karena Ia tidak akan berkesempatan untuk menahbiskannya. Kematian Pukkusati akan terjadi sebentar lagi dan ia bagaikan brahma yang mampir sebentar di gubuk si pembuat tembikar. Oleh karena itu Buddha tidak mencarikan mangkuk dan jubah untuknya.)

 

Pukkusati pergi mencari mangkuk dan jubahnya setelah fajar. Fajar menyingsing saat Buddha mengakhiri khotbah-Nya dan enam berkas sinar Buddha memancar.

 

Buddha memancarkan enam berkas sinar segera setelah khotbah-Nya berakhir. Seluruh gubuk itu menjadi terang benderang. Enam berkas sinar itu memancar berkelompok, seolah-olah menyelimuti segala penjuru dengan kain emas atau mencerahkan segala penjuru dengan bunga-bunga beraneka warna. Buddha bertekad agar diri-Nya terlihat oleh para penduduk kota dan ketika para penduduk melihat Buddha, mereka menyebarkan berita akan keberadaan Buddha di dalam gubuk dan melaporkannya kepada Raja Bimbisara.

 

Raja Bimbisara Berkunjung dan Memberi Hormat

Ketika Raja Bimbisara mendengar laporan itu, ia mendatangi gubuk si pembuat tembikar dan setelah memberi hormat, ia bertanya kepada Buddha mengenai kapan Beliau tiba. Buddha menjawab bahwa Ia tiba saat matahari terbenam kemarin. Raja kemudian bertanya tentang tujuan kunjungan-Nya. Kemudian Buddha berkata,

(Buddha mengetahui bahwa Pukkusati menjadi bhikkhu unutk menghormati-Nya. Tetapi Ia memutuskan untuk menanyainya, karena p class=jikaMsoNormal/span tidak begitu, maka tidak akan ada percakapan. Tidak ada percakapan artinya tidak ada khotbah yang disampaikan. Maka Beliau memulai percakapan dengan tujuan untuk menghaluskan jalan menuju pembabaran khotbah.)p class=

“Raja Besar, temanmu Raja Pukkusati membaca pesanmu dan setelah melepaskan keduniawian untuk menjadi bhikkhu, ia melakukan perjalanan untuk menemui-Ku, tetapi setelah berjalan dengan sia-sia sejauh empat puluh lima yojana melewati Savatthi, ia memasuki gubuk si pembuat tembikar dan duduk di sana.”

 

“Demi kemajuan spiritualnya Aku datang berjalan kaki dan membabarkan khotbah kepadanya. Pukkusati sekarang telah mencapai Buah dari tiga tingkat kesucian yang lebih rendah dan menjadi seorang Anagami Ariya.”

Mendengar hal ini, raja terkejut dan bertanya kepada Buddha di mana temannya berada. Buddha menjawab bahwa ia sedang mencari mangkuk dan jubahnya untuk penahbisan. Raja Bimbisara bergegas berjalan kea rah ke mana temannya pergi mencari mangkuk dan jubah. Buddha kembali melalui angkasa ke Kuti Harum di Vihara Jetavana.

 

Pukkusati Meninggal Dunia dan Terlahir Kembali di Alam Brahma

Dalam mencari mangkuk dan jubah, Pukkusati tidak mendatangi temannya Raja Bimbisara atau para pedagang yang pernah berkunjung ke Takkasila. Ia menganggap bahwa tidaklah layak baginya mencari ke sana kemari, dengan membeda-bedakan yang baik dan yang buruk bagaikan burung. Ia memutuskan untuk tidak mencari kain di kota besar, melainkan di tepi sungai, tanah pekuburan, tumpukan sampah atau jalan-jalan kecil. Maka ia mencoba mencari serpihan-serpihan kain di tumpukan sampah di pedesaan.

 

Selagi Pukkusati sedang mencari-cari, seekor sapi gila (yang adalah musuhnya dalam kehidupan lampau) menabrak dan melukai dengan tanduknya. Dalam keadaan lemah dan lapar, Pukkusati meninggal dunia saat dilemparkan ke angkasa. Ketika jatuh ke atas tanah, ia berbaring di atas tumpukan sampah bagaikan patung emas. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Brahma Aviha dan tak lama kemudian, ia menjadi Brahma Arahanta setelah mencapai Kearahattaan.

 

Menurut Sagathavagga Samyutta (Sutta kesepuluh dari Aditta Vagga dan Sutta keempat dari Nanatitthiya Vagga) ada tujuh orang yang mencapai Kearahattaan segera setelah kematian spontan mereka (upapital) di Alam Brahma Aviha. Mereka adalah (1) Upaka, (2) Palaganda, (3) Pukkusati, (4) Bhaddiya, (5) Khandadeva, (6) Bahuraggi, dan (7) Singiya.

 

Raja Bimbisara berpikir,“Temanku Raja Pukkusati meninggalkan kerajaannya setelah membaca pesanku dan melakukan perjalanan yang jauh dan sulit. Ia telah melakukan apa yang sulit dilakukan oleh orang-orang biasa. Aku akan memberikan penghormatan kepada temanku dengan cara yang sama seperti penghormatan kepada para bhikkhu.” Ia menyebar orang-orangnya ke segala penjuru kota untuk mencari Raja Pukkusati. Orang-orang itu menemukan raja itu terbaring mati bagaikan patung emas di atas tumpukan sampah. Mereka kembali dan melaporkan hal itu kepada Raja Bimbisara.

 

Raja Bimbisara pergi ke sana dan berdukacita atas kematian temannya, ia berkata, “Kami tidak berkesempatan memberikan penghormatan kepada teman kami sewaktu masih hidup. Sekarang ia telah meninggal dunia tanpa seorang pun yang menolongnya.” Raja membawa jasad temannya menggunakan sebuah dipan kecil, meletakkannya di tempat yang layak dan karena tidak mengetahui bagaimana menghormati seorang bhikkhu yang telah meninggal dunia, ia memanggil petugas pemandi jenazah, memakaikan pakaian putih bersih dan menghiasinya bagaikan seorang raja.

 

Kemudian jenazah itu ditempatkan di atas sebuah tandu dan dihormati dengan semua jenis alat musik dan bunga-bunga harum, dibawa ke luar kota dan dikremasi dengan menggunakan kayu-kayu api harum. Tulang-belulangnya kemudian dikumpulkan dan disemayamkan di dalam sebuah cetiya.

 

Beberapa waktu kemudian, banyak bhikkhu di Savatthi mengunjungi Buddha. Mereka memberi hormat kepada Guru dan duduk di tempat yang layak, mereka berkata, “Buddha Yang Agung, Engkau telah membabarkan Dhamma kepada Pukkusati. Orang itu telah meninggal dunia sekarang. Di manakah ia terlahir kembali?”

 

Kemudian Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Pukkusati adalah orang yang bijaksana. Ia melatih meditasi Vipassana (Pandangan Cerah) sesuai Dhamma yang halus. Ia tidak menyulitkan Aku dalam hal Dhamma. Karena patahnya lima belenggu yang membawa ke alam-alam indria yang lebih rendah, ia terlahir kembali di Alam Brahma Aviha dan akan mencapai kesucian Arahatta di Alam Brahma Suddhavasa itu (Aviha adalah salah satu dari lima Alam Suddhavasa). Ia tidak mungkin kembali lagi ke alam-alam indria yang lebih rendah dari Alam Aviha itu.”

(Sumber : Dari Dhatu-vibbanga Sutta, Majjhima Nikaya)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Banner 468 x 60 px